Penyempurnaan pemeliharaan Al-Qur’an setelah masa Khulafa’ Al-Rasyidin




Sebagaimana diketahui, bahwa bentuk tulisan Al-Qur’an dan tulisan-tulisan berbahasa Arab lainnya pada masa awal (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin) ditulis tanpa titik dan baris (syakal).

Sejalan dengan perkembangan agama Islam, semakin banyak orang-orang non-Arab memeluk Islam, maka timbul persoalan bagi mereka untuk membaca Al-Qur’an yang tanpa titik dan baris itu. Bahkan tidak jarang kesalahan baris (harakat) dalam bacaan Al-Qur’an dapat mengakibatkan perubahan makna yang sangat fundamental.

Sebagai contoh, suatu ketika Abul-Aswad ad-Du’ali mendengar seorang qari membaca Surat at-Taubah ayat 3: أن الله بريئ من المشركين و رسولُه .

Ayat ini seharusnya dibaca dengan tanda dhammah pada huruf lam lafazh رسولُه. Akan tetapi oleh qari’ tersebut dibaca و رسولِه  dengan membaca kasrah pada huruf lam.

Hal ini mengejutkan Abul Aswad dan ia berkata: “Maha Tinggi Allah untuk meninggalkan rasul-Nya”.
Kemudian Abul Aswad melaporkan hal ini kepada Ziyad bin Samiyyah, Gubernur Basrah pada masa pemerintahan Mu’awiyah (661-680 M).
Lalu Abul Aswad diminta untuk membubuhkan tanda baca (syakal) guna menghindari kesalahan membaca di kalangan kaum muslimin.

Memenuhi permintaan tersebut Abul Aswad memikirkan dan merumuskan tanda baca berupa : titik satu di atas huruf ( • ) sebagai tanda fathah (bunyi vokal ‘a’); titik satu di bawah huruf ( .) sebagai tanda kasrah (bunyi vokal ‘i’) dan titik satu di depan huruf ( ·– ) sebagai tanda dhammah (bunyi vokal ‘u’). Dalam penulisan mushhaf, tanda harakat ini diberi warna berbeda dengan tulisan hurufnya, dan ia tidak dibubuhkan pada setiap huruf melainkan hanya pada huruf terakhir setiap kata sebagai tanda i’rab.

Setelah pemberian tanda syakal/harakat tersebut selesai, persoalan lain yang muncul dalam pembacaan mushhaf Al-Qur’an adalah kesamaan bentuk beberapa huruf yang tidak bisa dibedakan kecuali oleh orang yang sudah terbiasa dengan huruf-huruf tersebut, atau mereka yang sudah hafal Al-Qur’an. Seperti huruf bā’, tā’, tsā’, nūn’, dan yā’ yang dilambangkan dengan bentuk huruf yang sama, tanpa titik (ٮ) untuk Kelima, macam huruf tersebut. Demikian pula huruf jīm, hā dan Khā yang ditulis tanpa titik (ح); huruf dāl dan dzāl ditulis د ; huruf rā dan zāy ditulis ر ; huruf sīn dan syīn ditulis س; dan lain-lainnya. Sehingga tidak bisa dibedakan antara huruf yang satu dengan yang lainnya, kecuali bagi orang yang sudah hafal atau pernah mempelajarinya secara lisan.

Untuk mengatasi kesulitan ini (membedakan huruf-huruf yang berlambang sama), Gubernur Irak, Al-Hajjaj bin Yusuf (714 M) menugaskan kepada Nashr bin Ashim (708 M) dan Yahya bin Ya’mur (747 M) – keduanya adalah murid Abul Aswad ad-Du’ali – untuk membubuhkan tanda-tanda pembeda antara huruf-huruf yang bersimbol sama. Dalam menjalankan tugasnya, Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur membubuhkan titik-titik diakritis untuk membedakan huruf-huruf yang bersimbol sama. Hasil dari karya mereka berdua maka jadilah bentuk abjad huruf Arab seperti yang kita kenal sekarang ini.

Setelah pembedaan huruf-huruf konsonan yang bersimbol sama sudah selesai dilakukan, persoalan lain yang muncul adalah, bagaimana membedakan antara tanda titik yang menunjukkan syakal (yang dibuat oleh Abul Aswad Ad-Du’ali) dengan tanda titik diakritis yang menunjukkan jenis huruf (yang dibuat oleh Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur)?

Untuk mengatasi masalah ini, maka Al-Khalil bin Ahmad (718–786 M), melakukan penyempurnaan terhadap karya Abul Aswad Ad-Du’ali dengan mengganti tanda titik yang menunjukkan bunyi vokal ‘a’, ‘i’ dan ‘u’, masing-masing diganti dengan huruf-huruf layyin (alif, yā’ dan wāw).

Huruf-huruf tersebut ditulis dalam bentuk kecil pada posisi titi-titik tanda vokal yang digantikannya. Sehingga untuk bunyi vokal ‘a’ diberi tanda alif kecil di atas huruf ( -ا–), untuk bunyi vokal ‘i’ diberi tanda huruf ya’ kecil di bawah huruf ( –ى- ), dan untuk bunyi vokal ‘u’ diberi tanda huruf waw kecil di depan huruf (–و).

Dalam perkembangan selanjutnya, tanda vokal dalam bentuk huruf alif, yā’ dan wāw dipandang kurang efisien, maka digantilah huruf-huruf tersebut dengan tanda baris seperti yang kita kenal sekarang ini.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Penyempurnaan pemeliharaan Al-Qur’an setelah masa Khulafa’ Al-Rasyidin"

Posting Komentar