Pemeliharaan Al-Qur’an Masa Khulafaur Rasyidin



1. Pemeliharaan Al-Qur’an di Masa Abu Bakar RA

Ketika Rasulullah SAW meninggal, Al-Qur’an belum dihimpun di dalam satu mushaf karena masih menunggu kemungkinan adanya penghabisan sebagian hukum dan tilawahnya. Ketika penurunan wahyu sudah terputus dengan meninggalnya Rasulullah maka Allah mengilhamkan kepada para khalifah yang terpimpin melakukan penghimpunan Al-Qur’an. Saat itu kondisi yang ada Al-Qur’an hanya dihapal oleh para sahabat dan orang-orang yang terpilih, maka sesuai dengan janji Allah SWT yang akan menjamin keterpeliharaannya bagi ummat ini.

Pada hakekatnya Al Quran juga telah dihimpun pada masa Rasulullah SAW atas petunjuk Jibril kepadanya, kemudian yang kedua masa Abu Bakar al-Shiddiq dan ketiganya pada masa Usman bin Affan dengan penerbitan surat-suratnya.

Pada masa Rasulullah SAW terdapat beberapa sahabat yang bertugas sebagai penulis wahyu. Apabila diturunkan ayat-ayat Al-Qur’an, Nabi memanggil mereka agar menulisnya diatas sarana penulisan yang ada pada waktu; satu nashkah untuk disimpan di tempat Nabi SAW dan yang lainnya untuk penulis itu sendiri. Pada waktu  Nabi SAW meninggal, lembaran-lembaran tulisan itu dan yang lainnya berada pada istri-istri beliau .

Diceritakan bahwa Bukhari meriwayatkan di dalam shahihnya dari Zaid bin Tsabit , ia berkata : “Abu Bakar ra memintaku datang berkenan dengan kematian para sahabat di peristiwa Yamamah , pada saat itu Umar ra berada di sisinya, lalu Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya Umar ra datang kepadaku mengatakan bahwa para penghapal Al-Qur’an banyak terbunuh di peristiwa Yamamah dan sesungguhnya aku khawatir akan terbunuhnya para penghapal Al-Qur’an (yang masih ada ini) di berbagai tempat lalu dengan itu banyak bagian Al-Qur’an yang hilang; karena itu aku mengusulkan agar kamu memerintahkan penghimpunan Al-Qur’an. Kemudian aku berkata pada Umar: “Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW?

Lalu Umar berkata; “Demi Allah, ini adalah kebaikan”. Maka Umar pun terus mendesakku sehingga Allah SWT melapangkan dadaku untuk itu dan aku (sekarang) sependapat dengan Umar.

Zaid berkata bahwa, “Abu Bakar berkata: Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang bijaksana, kami tidak menyangsikanmu, karena kamu pernah menjadi penulis wahyu bagi Nabi SAW maka periksalah Al-Qur’an dan himpunlah”. Demi Allah, seandainya mereka menugasiku untuk memindahkan salah satu gunung, sungguh itu tidaklah lebih berat bagiku ketimbang apa yang ia perintahkan kepadaku yaitu menghimpun Al-Qur’an.

Jati diri Zaid bin Tsabit sendiri begitu istimewa sehingga tak heran Abu Bakar dan Umar diberikan kelapangan dada untuk memberikan tugas tersebut pada Zaid bin Tsabit, yang mana sebagai pengumpul dan pengawas komisi ini Zaid bin Tsabit  dibantu Umar sebagai sahibul fikrah yakni pembantu khusus. Beberapa keistimewaan tersebut diantaranya adalah:

1) Berusia muda, saat itu usianya di awal 20-an (secara fisik & psikis kondisi prima).
2) Akhlak yang tak pernah tercemar, ini terlihat dari pengakuan Abu Bakar yang mengatakan bahwa, “Kami tidak pernah memiliki prasangka negatif terhadap anda.”
3) Kedekatannya dengan Rasulullah SAW, karena semasa hidup Nabi, Zaid tinggal berdekatan dengan beliau.
4) Pengalamannya di masa Rasulullah SAW masih hidup sebagai penulis wahyu dan dalam satu kondisi tertentu pernah Zaid berada di antara beberapa sahabat yang sempat mendengar bacaan Al-Qur’an malaikat jibril bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan.
5) Kecerdasan yang dimilikinya menunjukkan bahwa tidak hanya karena memiliki  vitalitas dan energi namun kompetensinya dalam kecerdasan spiritual dan intelektual.

Di sebutkan Abu Bakar RA mengatakan pada Zaid, “Duduklah di depan pintu gerbang Masjid Nabawi jika ada orang membawa (memberi tahu) anda tentang sepotong ayat dari Kitab Allah SWT dengan kesaksian 2 orang maka tulislah. Hal ini bermakna bahwa kesaksian 2 orang saksi erat hubungannya dengan hafalan yang diperkuat dengan bukti tertulis dimana Qur’an diwahyukan. Bukan itu saja 2 orang sahabat tersebut juga menyaksikan bahwa orang yang menerima ayat tersebut seperti yang diperdengarkan Rasulullah SAW. Tujuannya adalah agar menerima sesuatu yang telah ditulis di hadapan Nabi bukan hanya berdasarkan hafalan semata-mata.

Waktu pengumpulan Zaid terhadap Al-Qur’an sendiri sekitar 1 tahun, ini dikarenakan dalam mengerjakannya Zaid sangat hati-hati sekalipun ia seorang pencatat wahyu yang utama dan hafal seluruh Al-Qur’an. Dalam melakukan pekerjaannya ini Zaid berpegangan pada:

1) Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis di hadapan Nabi Muhammad SAW dan yang disimpan di rumahnya
2) Ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hapal Al-Qur’an
Buah hasil kerja Zaid sangat teliti dan hati-hati sehingga memiliki akurasi yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan  :
1) Menulis hanya ayat Al-Qur’an yang telah disepakati mutawatir riwayatnya
2) Mencakup semua ayat Al-Qur’an yang tidak mansukh at-tilawah
3) Susunan ayatnya seperti yang dapat kit abaca pada ayat-ayat yang tersusun dalam Al-Qur’an sekarang ini
4) Tulisannya mencakup al-ahruf al-sab’ah sebagaimana Al-Qur’an itu diturunkan
5) Membuang segala tulisan yang tidak termasuk bagian dari Al-Qur’an.

Senada dengan itu, Az Zargani menyebutkan bahwa ciri-ciri penulisan Al-Qur’an pada masa khalifah Abu Bakar ini adalah :

1) Seluruh ayat Al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama
2) Tidak termasuk di dalamnya ayat-ayat Al-Qur’an yang telah mansukh atau di Nasakh bacaannya
3) Seluruh ayat Al-Qur’an yang ditulis di dalamnya telah diakui kemutawatirannya.

Kekhusususan hasil kerja Zaid sendiri membedakan dengan catatan para sahabat yang menjadi dokumentasi pribadi. Catatan mereka yang masih mencakup ayat-ayat yang mansukh at-tilawah, ayat-ayat yang termasuk kategori riwayat al-ahad, catatan doa dan tulisan yang diklasifikasikan sebagai sebagai tafsir dan takwil.

Maka sebagaimana Allah telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar sebelumnya dan akhirnya Allah pulalah yang melapangkan dadaku maka aku periksa Al Qur’am dan aku menghimpunnya dari pelepah kurma, batu-batu tulis dan dada-dada para sahabat sehingga aku mendapati akhir surat At-Taubah pada Abu Khuzaimah al-Anshari ; aku tidak mendapatkannya pada sahabat lainnya , yaitu ayat laqad ja’akum rasulu(n)…..  sampai akhirAt-Taubah. Maka mushaf-mushaf itu disimpan oleh Abu Bakar sampai ia meninggal kemudian disimpan oleh Umar sampai ia meninggal dan selanjutnya disimpan oleh Hafsah binti Umar.

2. Pemeliharaan Al-Qur’an  dari  Masa Usman bin Affan r.a Hingga Sekarang


Pada masa khalifahan Usman bin Affan ra umat Islam mulai menyebarkan jihad Islam ke arah utara sampai Azerbaijan dan Armenia. Berasal dari suku kabilah dan provinsi yang beragama sejak awal pasukan tempur memiliki dialek yang berlainan. Nabi Muhammad SAW sendiri memang telah mengajarkan membaca Al-Qur’an berdasarkan dialek mereka masing-masing lantaran dirasa sulit untuk meninggalkan dialek mereka secara spontan. Namun kemudian adanya perbedaan dalam penyebutan atau membaca Al-Qur’an yang kemudian menimbulkan kerancuan dan perselisihan dalam masyarakat.

Bukhari  meriwayatkan dari Anash  bahwa Hudzaifah bin al-Yaman  pernah datang kepada Usman , waktu itu Hudzaifah memimpin penduduk Syam dan Iraq dalam menaklukkan Armenia dan Azarbaijan, maka ia terkejut oleh perselisihan mereka (antara penduduk Syam dan Iraq) dalama qira’ah 135, lalu ia berkata pada Usman, “Selamatkanlah umat ini sebelum mereka berselisih sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi dan Nashrani”.
Maka Usman meminta pada Hafsah agar meminjamkan mushaf-nya untuk ditranskrip dalam beberapa mushaf kemudian Usman meminta pada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin al-Zubair , Sa’d bin Abi Waqqash dan Abdul Rahman bin al-Harits bin Hisyam lalu mereka pun menterjemahkan kepada beberapa mushaf  . Usman berkata kepada kepada 3 tokoh Quraisy tersebut,  “Apabila kalian bertiga berselisih dengan Zaid tentang sesuatu dari Al-Qur’an maka tulislah ia dengan bahasa Quraisy karena ia diturunkan dengan bahasa mereka.”

Pesan ini mereka lakukan dengan baik. Kemudian setelah penulisan beberapa mushaf tersebut maka dikirimkan setiap mushaf ke berbagai pusat Islam, masing-masing salinan Al-Qur’an ini disediakan sebagai otoritas rujukan bagi masyarakat yang dari situ mereka membuat lagi salinannya dan kepadanya mereka merujukkan bila muncul perbedaan pembacaan mushaf antar kota.

Adapun mushaf di Madinah sebagai mushaf al-Iman yang menjadi rujukan terakhir umat Islam.
Ide tentang penyeragaman bacaan Al-Qur’an sendiri digulirkan sahabat Huzaifah bin al Yaman. Kesaksian Huzaifah tentang perselisihan umat Islam disebabkan perbedaan bacaan ditanggapi oleh Usman dengan positif. Ia menyadari bahwa perbedaan bacaan ini muncul lantaran adanya perbedaan bacaan para guru yang mengajarinya berpangkal pada beberapa alternatif yang dimunculkan oleh sab’atu ahruf.

Dalam kaitan ini seperti yang dikutip Sirojuddin dalam Nur Faizah  berkata bahwa Usman tidak bermaksud seperti maksud Abu bakar dalam mengumpulkan Al-Qur’an namun hanya ingin menyatukan versi qira’at umat Islam ke dalam Qira’at tetap yang diketahui berasal dari Rasulullah SAW serta membatalkan berbagai Qira’at yang bukan dari beliau. Sehingga Usman telah memberikan ruang ragam dialeknya menjadi satu dialek saja yakni dialek quraisy.

Adapun mushaf Hafsah binti Umar kelak dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan bin Hakam dari Dinashti Umayyah. Tindakan Marwan dilakukan demi mengamankan keseragaman mushaf Al-Qur’an yang telah diupayakan oleh Khalifah Usman serta untuk menghindari keragu-raguan umat Islam di masa yang akan datang terhadap mushaf Al-Qur’an jika masih terdapat dua macam mushaf yakni mushaf Usman dan mushaf Hafsah.

Az Zarqani  sendiri mencatat bahwa ciri-ciri mushaf yang disalin pada Khalifah Usman adalah sebagai berikut:

1) Ayat-ayat Al-Qur’an yang tertulis di dalamnya seluruhnya berdasarkan riwayat yang mutawwir berasal dari Rasulullah
2) Tidak terdapat di dalamnya ayat-ayat Al Quran yang mansukh atau diNasakh bacaannya
3) Susunan menurut urutan wahyu
4) Tidak terdapat di dalamnya yang tidak tergolong pada Al-Qur’an seperti apa yang ditulis oleh sebagian sahabat dalam mushaf masing-masing sebagai penjelasan atau keterangan terhadap ayat-ayat tertentu
5) Mushaf yang ditulis pada masa khalifah usman tersebut mencakup “tujuh huruf” dimana Al-Qur’an diturunkan dengannya

Dari penjelasan ini maka periodesasi pengumpulan Al Quran tersebut terdapat perbedaan yang prinsipil yang diutarakan oleh Az Zargani yakni:

1) Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad dilakukan untuk mencatat dan menulis setiap wahyu yang diturunkan kepadanya dengan menertibkan ayat-ayat di dalam surah-surah tertentu sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW
2) Saat khalifah Abu Bakar pengumpulan tulisan-tulisan Al Quran menurut urutan turunnya wahyu, dikarenakan kekhawatiran banyaknya penghafAl-Qur’an yang meninggal dalam peperangan
3) Saat khalifah Usman dilakukan penyalinan mushaf menjadi beberapa mushaf dengan tertib ayat maupun surahnya sebagaimana yang ada sekarang, dikarenakan adanya perpecahan dikalangan umat Islam dipicu oleh perbedaan Qira’at Al-Qur’an.

Kondisi umat Islam sesudah adanya mushaf yang dilakukan pada khalifah Usman sendiri sangat hati-hati, cermat dan teliti ketika menyalin dengan bahasa mereka. Salah satunya terlihat pada gubernur Mesir Abdul Aziz ibn Marwan yang menyuruh orang untuk menunjukkan bahwa suatu kesalahan dalam salinan tersebut jika terjadi kesalahan maka berikan padanya seekor kuda dan 30 dinar, diantaranya yang memeriksa adalah seorang qori yang dapat menunjukkan suatu kesalahan yaitu kesalahan naj’ah padahal sebenarnya na’jah.

Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca seperti titik dan syakal karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab murni di mana mereka tidak memerlukan syakal, titik dan tanda baca lainnya seperti yang kita kenal sekarang ini. Pada masa itu tulisan hanya terdiri atas beberapa simbol dasar, hanya melukiskan struktur konsonan dari sebuah kata yang sering menimbulkan kekAburan lantaran hanya berbentuk garis lurus semata.

Ketika bahasa Arab mulai mendapat berbagai pengaruh dari luar karena bercampur dengan bahasa lainnya maka para penguasa mulai melakukan perbaikan-perbaikan yang membantu cara membaca yang benar. Perlunya pembubuhan tanda baca dalam penulisan Qur’an mulai dirasakan ketika Ziyad bin Samiyah menjadi gubernur Basrah pada masa pemerintahan khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan (661-680M). Ia melihat telah terjadi kesalahan di kalangan kaum muslimin dalam membaca Al-Qur’an. Sebagai contoh kesalahan dalam membaca firma Allah SWT dalam surat 9:3.

Melihat kenyataan seperti itu Ziyad meminta Abu al-Aswad al Duali untuk memberikan syakal. Ia memberi tanda fathah atau tanda bunyi (a) dengan membubuhkan tanda titik satu di atas huruf, tanda kasrah atau tanda bunyi (i) dengan membubuhkan tanda titik satu dibawah huruf, tanda dammah atau tanda bunyi (u) dengan membubuhkan tanda titik satu terletak di antara bagian-bagian huruf sementara tanda sukun atau tanda konsonan (huruf mati) ditulis dengan cara tidak membubuhkan tanda apa-apa pada huruf yang bersangkutan .

Kemudian tanda baca Abu Al-Aswad tersebut disempurnakan lagi oleh ulama sesudahnya pada masa dinashti Abbasiyah yaitu oleh al-Khalil bin Ahmad. Ia bersependapat bahwa asal usul fathah ialah alif, kasrah dan ya dan dammah adalah wawu.

Kemudian fathah dilambangkan dengan tanda sempang di atas huruf, kasrah di bawah huruf dan dammah dengan wawu kecil di atas huruf sedangkan tanwin dengan mendobelkannya.

Ia juga memberi tanda pada tempat alif yang dibuang dengan warna merah, pada tempat hamzah yang dibuang dengan hamzah warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin yang berhadapan dengan huruf ba diberi tanda iqlab dengan warna merah. Nun dan tanwin berhadapan dengan huruf halqiyah diberi tanda sukun dengan warna merah.

Begitu pula pada masa khalifah Bani Umayyah yang Kelima,, Abdul Malik bin Marwan memerintahkan seorang ulama bernama al-Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf Qur’an. Untuk mewujudkan hal tesebut diberikan tugas tersebut al-Hajjaj menugaskan kepada Nashr bin Ashin dan Yahya bin Ya’mur . Akhirnya mereka berhasil menciptakan tanda-tanda pada huruf Al-Qur’an dengan membubuhkan titik pada huruf-huruf yang serupa untuk membedakan huruf yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, huruf dal dengan huruf zal, huruf ba dengan huruf ta dan huruf sa. Demikianlah huruf-huruf sebagaimana yang kita kenal seperti saat ini.

Jadi tampak bahwa perbaikan Rasm al-Utsmani terjadi melalui tiga proses yakni:
1) Pemberian syakal yang dilakukan oleh Abu al-Aswad al-Duali
2) Pemberian a’jam, titik yang dilakukan oleh Abdul Malik bin Marwan dan al-Hajjaj
3) Perubahan syakal pemberian Abu al-Aswad ad-Duali menjadi seperti sekarang ini yang dilakukan oleh al-Khalil.

Al-Qur’an sendiri pertama kali dicetak di Hamburg Jerman pada tahun 1113 H. Salah satu mushaf hasil cetakan pertama ini konon terdapat di Dar al-Kutub al-Arabiyah, Kairo Mesir. Sementara di Turki pertama kali dicetak pada 1129 H kemudian menyusul di Iran 1248 H. Madinah saat ini terdapat percetakan Al-Qur’an yang diklaim terbesar di dunia. Percetakan itu mulai dibangun oleh Raja Fahd pada tanggal 2 November 1982. Pada Oktober 1984 dimulai diproduksi dengan berbagai ukuran, dengan komplek yang lengkap mulai dari masjid, show room produksi sekaligus toko tempat penjualan, asrama karyawan, klinik dan perpustakaan.

Percetakan ini juga mencetak dan diterjemahkan ke  dalam 50 bahasa di dunia termasuk di Indonesia. Al-Qur’an disini dicetak di percetakan dan dibagikan secara gratis ke seluruh dunia seperti melalui masjid-masjid. Demikian juga yang dibagikan kepada jamaah haji, mereka akan mendapatkan Al-Qur’an secara gratis pada waktu hendak menaiki peSAWat terbang untuk kembali ke negeri mereka masing-masing.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pemeliharaan Al-Qur’an Masa Khulafaur Rasyidin"

Posting Komentar